Bebas itu bukan bablas
Saya ngeblog sejak 2004, dan blog ini adalah blog ketiga saya. Saya mengawali blogging dengan menulis keseharian, pengalaman, hobby dan sesekali curhat. Ketika pengunjung blog saya tidak hanya satu dua akhirnya saya mulai memilah mana yang patut jadi bahan posting, dan mana yang cukup jadi jurnal pribadi. Kenapa? Karena blog (bagi saya) bukan diary online. Berikut saya kutip tulisan Margareta Astaman dalam ebook @linimas(s)sa :
Ya, menulis memang mendorong kita untuk menuangkan segala yang terlintas di benak. Apalagi menulis di blog yang notabene adalah milik kita sendiri. Ada kebanggaan tersendiri ketika tulisan kita "dipublikasikan" di blog dan dibaca orang lain. Blog memang milik pribadi, tetapi pembacanya? Kita tidak bisa mengontrol siapa yang membaca blog kita, sehingga saya merasa perlu untuk menyaring apa yang hendak saya bagi lewat posting di blog.
Hal yang sama saya lakukan ketika bersosialisasi di jaringan twitter dan facebook. Informasi pribadi seperti tempat tinggal atau nomor telepon tidak saya cantumkan di profile. Ketika modus penipuan semakin canggih, bukan ngga mungkin akun facebook teman saya misalnya dibajak orang lain kemudian segala data pribadi yang kita set untuk dishare friend only jadi bocor ke tangan penipu. Selain itu, saya juga ngga otomatis meng-confirm siapapun yang add friend di facebook. Untuk nama-nama aneh, orang yang ngga saya kenal (friend of friend), online shop yang barang dagangannya ngga saya minati, saya ngga ragu klik ignore. Mencantumkan alamat lengkap di akun jaringan sosial, meng-upload foto tempat tinggal, atau bragging benda berharga yang kita punya, sama saja dengan mengundang kejahatan.
Kebanyakan aturan? Bukannya internet itu zona bebas? Ya betul. Sekarang ini siapapun bisa mengakses internet, bisa lewat handphone, warnet, kantor, atau di rumah. Kita bebas berekspresi dan berbagi di internet, tapi jangan lupa kalo orang lain dengan berbagai latar belakang juga bebas mengakses apa yang kita bagi. Bebas itu hak, tapi jangan kebablasan.
*bablas = kelewatan (Jawa)
Kenyamanan mengakses dalam kenyamanan kamar tidur pribadi dengan menggunakan PC alias komputer pribadi, atau bilik privat warnet, tanpa harus bertatap muka dengan siapapun memberikan persepsi seolah media internet adalah ruang pribadi. Terlebih jejaring sosial yang diakses bisa dipersonalisasikan dan punya alamat web yang dibuat sendiri.
Ya, menulis memang mendorong kita untuk menuangkan segala yang terlintas di benak. Apalagi menulis di blog yang notabene adalah milik kita sendiri. Ada kebanggaan tersendiri ketika tulisan kita "dipublikasikan" di blog dan dibaca orang lain. Blog memang milik pribadi, tetapi pembacanya? Kita tidak bisa mengontrol siapa yang membaca blog kita, sehingga saya merasa perlu untuk menyaring apa yang hendak saya bagi lewat posting di blog.
Hal yang sama saya lakukan ketika bersosialisasi di jaringan twitter dan facebook. Informasi pribadi seperti tempat tinggal atau nomor telepon tidak saya cantumkan di profile. Ketika modus penipuan semakin canggih, bukan ngga mungkin akun facebook teman saya misalnya dibajak orang lain kemudian segala data pribadi yang kita set untuk dishare friend only jadi bocor ke tangan penipu. Selain itu, saya juga ngga otomatis meng-confirm siapapun yang add friend di facebook. Untuk nama-nama aneh, orang yang ngga saya kenal (friend of friend), online shop yang barang dagangannya ngga saya minati, saya ngga ragu klik ignore. Mencantumkan alamat lengkap di akun jaringan sosial, meng-upload foto tempat tinggal, atau bragging benda berharga yang kita punya, sama saja dengan mengundang kejahatan.
Kebanyakan aturan? Bukannya internet itu zona bebas? Ya betul. Sekarang ini siapapun bisa mengakses internet, bisa lewat handphone, warnet, kantor, atau di rumah. Kita bebas berekspresi dan berbagi di internet, tapi jangan lupa kalo orang lain dengan berbagai latar belakang juga bebas mengakses apa yang kita bagi. Bebas itu hak, tapi jangan kebablasan.
*bablas = kelewatan (Jawa)
Comments
Post a Comment